,

Kontroversi Rapat Tertutup Revisi UU TNI di Hotel Mewah

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengkritik keras rapat tertutup yang membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Komisi I DPR RI dan pemerintah. Rapat ini diadakan di salah satu hotel di Jakarta, menimbulkan polemik terkait transparansi dan efisiensi anggaran.

Kontras: Proses Tidak Transparan dan Bertentangan dengan Reformasi

Pada Sabtu sore, perwakilan Kontras mendatangi ruang rapat tersebut dengan membawa poster kritik dan surat terbuka yang ditujukan kepada DPR. Mereka berusaha menghentikan rapat yang berlangsung secara tertutup, karena menilai bahwa hal ini merupakan upaya menyembunyikan pembahasan dari masyarakat.

Kontras juga menyoroti kecepatan proses pembahasan yang dinilai tergesa-gesa, seolah ada keinginan untuk segera mengesahkan revisi tersebut tanpa partisipasi publik yang memadai. Menurut mereka, revisi ini justru mengaktifkan kembali fungsi militer dalam berbagai sektor sipil, yang bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan di Indonesia.

“Kami menuntut agar proses ini dihentikan karena bertolak belakang dengan kebijakan efisiensi negara dan substansinya jauh dari upaya menghapus dwifungsi militer,” tegas salah satu perwakilan Kontras.

DPR: Tidak Ada Target Khusus, Tapi Lebih Cepat Lebih Baik

Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI menyatakan bahwa tidak ada target khusus kapan revisi UU TNI harus diselesaikan, baik sebelum atau setelah Idulfitri. Namun, mereka mengakui bahwa lebih cepat lebih baik, selama prosedurnya tetap dipatuhi.

“Tugas kita adalah menyelesaikan revisi ini. Tidak perlu diperlambat, tapi juga tidak boleh dipercepat secara asal. Yang terpenting adalah mengikuti prosedur dan memastikan ada diskusi yang intensif,” ujar salah satu anggota DPR.

Kritik Terhadap Efisiensi Anggaran

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Apilius Karus, menilai bahwa pemilihan hotel bintang lima sebagai tempat rapat justru bertolak belakang dengan isu efisiensi anggaran yang digenjot pemerintah.

“Publik bisa berpikir bahwa isu efisiensi anggaran ini hanya gimik. Pilihan rapat di hotel dan proses pembahasan yang terburu-buru memperkuat kesan bahwa ada kepentingan tertentu dalam revisi UU TNI ini,” ungkap Apilius.

Ia juga mengkritisi minimnya waktu pembahasan yang hanya berlangsung selama sembilan hari sebelum masa reses DPR pada 20 Maret mendatang. Menurutnya, durasi yang sangat singkat ini tidak memungkinkan adanya partisipasi publik yang optimal dalam proses pembuatan undang-undang.

Polemik terkait revisi UU TNI ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang transparansi dan urgensinya. Publik dan kelompok pemerhati kebijakan pertahanan mendesak agar pembahasan dilakukan secara terbuka, mengingat dampak strategis yang bisa ditimbulkan. Bagaimanapun, keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah dan DPR, yang diharapkan dapat bertindak sesuai kepentingan nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *